Penegakan Hukum untuk Kerukunan Beragama oleh team Pengacara Perceraian Perdata Pidana di Balikpapan Samarinda
Artikel Pengacara Perceraian Perdata Pidana di Balikpapan Samarinda mengenai Penegakan Hukum untuk Kerukunan Beragama.
Sebuah ironi terjadi, ketika Indonesia menjadi tuan rumah The World Interfaith Harmony Week 2011 (Pekan Kerukunan Antarumat Beragama Dunia) dengan Ketua Presidiumnya Din Syamsuddin di Jakarta (06/02), yang dihadiri tidak hanya tokoh agama dan tokoh nasional, bahkan utusan PBB pun hadir untuk menghembuskan nafas kerukunan antarumat beragama, di Cilegon Banten (06/02) terjadi penyerangan terhadap
umat Ahmadiyah oleh sekelompok massa yang memakan korban jiwa 3 orang dan belasan lainnya luka berat. Seperti belum cukup, kerusuhan bernuansa SARA kembali terjadi di Temanggung (08/02) yang mengakibatkan dirusaknya PN Temanggung dan beberapa rumah ibadah.
Gelombang
kecaman muncul dari segenap elemen masyarakat. Bahkan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono memerintahkan secara khusus kepada aparat hukum untuk
mengusut tuntas kasus tersebut. Sekali lagi, masalah Ahmadiyah kembali
diperdebatkan, dan suara tentang kebebasan berkeyakinan dan beragama,
juga saling hormat-menghormati antara umat beragama, atas nama Hak Asasi
Manusia dan demokrasi kembali di dengungkan.
Bagaimanapun
dan apapun alasan dari kejadian itu, kekerasan dan pembunuhan adalah
sebuah tindak pidana yang tidak dapat dibenarkan. Mari kita melihat
lebih jauh tentang mengapa petaka itu bisa terjadi dan bagaimana langkah
kita ke depan agar hal yang serupa tidak terjadi lagi.
Kita
tidak bisa membahas kebebasan berkeyakinan dan beragama dengan standar
agama tertentu, karena itu subyektif. Untuk itu, mari kita membahas hal
ini dengan satu standar umum, yaitu standar Hukum.
Satu
pijakan awal untuk berkeyakinan dan beragama adalah pasal 29 UUD 1945
yang menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk dan
menjalankan agama dan kepercayaannya. Ini adalah aturan umumnya (lex
generalis), sedangkan salah satu aturan khususnya (lex spesialis),
diantaranya UU PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang Penodaan Agama.
Kekuatan
UU PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang Penodaan Agama ini sudah tidak
diragukan lagi, sangat legitimite, karena sudah pernah diuji materi di
Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Konstitusi berdasarkan putusannya
nomor 140/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa Undang-Undang Penodaan Agama itu
tidak berlawanan dengan Undang-Undang Dasar.
UU
Pencegahan Penodaan Agama, pada pokoknya mengatur dua aspek pembatasan
atas kebebasan beragama, yaitu: 1. Pembatasan yang bersifat
administratif, dan 2. pembatasan yang bersifat pidana. Pembatasan
administratif yaitu larangan di muka umum untuk dengan sengaja melakukan
penafsiran tentang suatu agama atau melakukan kegiatan, yang
menyimpangan dari pokok-pokok ajaran suatu agama yang dianut di
Indonesia. Sanksinya bersifat administratif dimulai dari peringatan
sampai dengan pelarangan serta pembubaran organisasi. Sedangkan larangan
yang bersifat pidana yaitu larangan terhadap setiap orang yang dengan
sengaja mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada
pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodan terhadap
suatu agama yang dianut di Indonesia.
MK
berpendapat bahwa negara punya otoritas untuk mengatur masyarakat,
dalam masalah apapun. Jika ada konflik, maka yang bisa memberikan
paksaan untuk mengatur adalah negara. Hal ini sesuai dengan asas Hukum
yang bersifat memaksa dan mengikat.
Akil
Mukhtar, salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi, mengemukakan pendapatnya
bahwa kebebasan berkeyakinan dan beragama yang dijamin oleh
Undang-Undang Dasar 1945 tidak berarti mutlak, kebebasan berkeyakinan
dan beragama itu terbatasi dengan ketidakbolehan seseorang menistakan
dan menyinggung ajaran keyakinan lain.
Dengan
penjelasan diatas, kita dapat mengambil satu pijakan awal bahwa antara
Kebebasan Berkeyakinan dan beragama dan Penodaan Terhadap Agama adalah
dua hal yang berbeda, dan tidak dapat disamakan. Masalahnya sekarang
adalah apa yang menjadi standar bahwa suatu perbuatan itu adalah bentuk
dari Kebebasan Berkeyakinan dan beragama, dan apa yang menjadi standar
bahwa suatu perbuatan itu adalah sebuah penodaan terhadap agama.
Standar
sederhana yang dapat digunakan adalah norma Pasal 156a KUHP, yaitu
norma hukum yang menentukan sanksi bagi perbuatan jahat (yaitu penodaan
agama), dan sifat kriminalnya muncul karena memang perbuatan itu adalah
jahat. Bentuk sifat jahatnya itu adalah permusuhan, penyalahgunaan dan
penodaan terhadap agama.
Perangkat
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai delik penodaan
agama untuk saat ini terasa cukup memadai. Masalahnya tinggal
aparat-aparat hukum kita yang diharap mampu untuk menyelami dan memahami
perasaan suatu umat beragama. Aparat
penegak hukum harus berupaya semaksimal mungkin menindak tegas dan
memadamkan setiap ada potensi konflik yang berkaitan dengan keyakinan,
kepercayaan, dan agama tertentu. Hal inilah harus
dilakukan sehingga penodaan agama dapat ditangani secara profesional
dan proporsional oleh aparat penegak hukum. Dengan demikian negara
Indonesia yang multi agama, multi etnik dan multi ras dapat terhindar
dari konflik-konflik antar umat beragama.
Khusus
untuk Ahmadiyah, aturan dan perundang-undangan yang tegas harus dibuat
oleh DPR untuk itu. Aturan tersebut tidak bermakna ganda dan lugas.
Misalnya: Apakah kita akan seperti Malaysia, Arab Saudi, Brunei
Darussalam yang melarang Ahmadiyah, atau mau seperti Pakistan yang
menganggap bahwa Ahmadiyah adalah agama sendiri (bukan islam), atau
menetapkan bahwa Ahmadiyah adalah salah satu aliran (organisasi
keagamaan) Islam yang sah selayaknya NU/Muhammadiyah/ormas lain? Itu
sah-sah saja, dan semua pihak harus mematuhi peraturan
perundang-undangan itu.
Hal
ini kita perlukan agar aparat penegak hukum dapat bertindak tegas,
mengetahui dengan pasti siapa yang harus dikejar dan dilindungi, dan
tidak malah menjadi salah tingkah seperti saat ini. Kalau memang aliran
seperti itu tidak dapat dibenarkan, maka larang. Kalau dapat dibenarkan,
maka perbolehkan. Buat aturan itu tegas hitam di atas putih, dengan
segala sanksi hukum yang mengikutinya apabila ada yang dengan berani
melanggar UU tersebut.
Kebebasan
berkeyakinan dan beragama yang dilaksanakan secara konsekuen dan benar
akan menumbuhkan sikap toleransi dan tenggang rasa antar umat beragama
seperti yang telah para pendiri negeri ini tuangkan dalam Pancasila.
Akan tetapi, kebebasan berkeyakinan dan beragama yang dilaksanakan
secara menyimpang dan tidak sewajarnya akan menimbulkan sikap penodaan
terhadap agama dan keyakinan, apapun itu.
Mari
saling hormat menghormati antara pemeluk agama dan keyakinan yang
berbeda-beda. Jadikan perbedaan yang ada sebagai pemersatu, bukan alasan
untuk terpecah belah. Jangan biarkan ada Api dalam Sekam dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat sudah cukup letih melihat
pertengkaran, perkelahian dan kerusuhan. Kapan kita akan membangun kalau
terus terpecah-belah?
0 Response to "Penegakan Hukum untuk Kerukunan Beragama oleh team Pengacara Perceraian Perdata Pidana di Balikpapan Samarinda"
Posting Komentar