Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum Perkawinan oleh praktisi Pengacara Perceraian Perdata Pidana di Balikpapan Samarinda
artikel praktisi Pengacara Perceraian Perdata Pidana di Balikpapan Samarinda
Apa itu Kompilasi telah kita bahas terdahulu klik disini detailnya.
Buku II tentang Hukum kewarisan telah Kita bahas di link ini
Sekarang kita akan membahas tentang
Yang dimaksud dengan:
a. Peminangan ialah kegiatan-kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seseorang pria dengan seorang wanita.
b. Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah;
c. Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi;
d. Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam;
e. Taklil-talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang;
f. Harta Kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalamikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama,tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;
g. Pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri;
h. Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
i. Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya;
j. Mutah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenan dengan :
a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b) Hilangnya Akta Nikah;
c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan;
e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.
(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah, haram dan dilarang untuk dipinang.
(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
(4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.
(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntutan adat dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.
a. Calon suami;
b. Calon isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.
(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.
(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
(2) Wali nikah terdiri dari:
a. Wali nasab;
b. Wali hakim;
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudar seayah dan k keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannnya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.
(2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.
(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan Kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
(2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan
(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.
(2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat,suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.
(1) Karena pertalian nasab:
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;
b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
(2) Karena pertalian kerabat semenda:
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
b. Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c. Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;
d. Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
(3) Karena pertalian sesusuan:
a. Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah.
c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan dan kemanakan sesusuan ke bawah;
d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam;
a. Saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;
b. Wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj’I, tetapi masih dalam masa iddah.
a. Dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;
b. Dengan seorang wanita bekas istreinya yang dili’an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum Perkawinan bagian 1
Dari Kantor Pengacara di Balikpapan Yuni, A.Md., S.H.Apa itu Kompilasi telah kita bahas terdahulu klik disini detailnya.
Buku II tentang Hukum kewarisan telah Kita bahas di link ini
Sekarang kita akan membahas tentang
BUKU I
HKUKUM PERKAWINAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dengan:
a. Peminangan ialah kegiatan-kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seseorang pria dengan seorang wanita.
b. Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah;
c. Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi;
d. Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam;
e. Taklil-talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang;
f. Harta Kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalamikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama,tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;
g. Pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri;
h. Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
i. Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya;
j. Mutah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.
BAB II
DASAR-DASAR PERKAWINAN
Pasal 2
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.Pasal 5
- Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
- Pencatatan perkawinan tersebut apabila ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954
Pasal 6
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenan dengan :
a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b) Hilangnya Akta Nikah;
c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan;
e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Pasal 8
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak;Pasal 9
(1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama.(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.
Pasal 10
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
BAB III
PEMINANGAN
Pasal 11
Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perentara yang dapat dipercaya.Pasal 12
(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah, haram dan dilarang untuk dipinang.
(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
(4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.
Pasal 13
(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntutan adat dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.
BAB IV
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Rukun
Pasal 14
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada;a. Calon suami;
b. Calon isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.
Bagian Kedua
Calon Mempelai
Pasal 15
(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 Tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
(2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.Pasal 16
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
Pasal 17
(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai dihadapan dua saksi nikah.(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.
(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
Pasal 18
Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI.
Bagian Ketiga
Wali Nikah
Pasal 19
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.(2) Wali nikah terdiri dari:
a. Wali nasab;
b. Wali hakim;
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengna calon mempelai wanita.Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudar seayah dan k keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannnya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Bagian Keempat
Saksi Nikah
Pasal 24
(1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.(2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.
Bagian Kelima
Akad Nikah
Pasal 27
Ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.Pasal 28
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain.Pasal 29
(1) Yang berhak mengucapkan Kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan Kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
BAB V
MAHAR
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya.Pasal 33
(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai(2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.
Pasal 34
(1) Kewajiban menyerahkan mahar-mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan.(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan
Pasal 35
(1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.
Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan penyelesaian diajukan ke Pengadilan Agama.Pasal 38
(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas.(2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat,suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.
BAB VI
LARANGAN KAWIN
Pasal 39
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan:(1) Karena pertalian nasab:
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;
b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
(2) Karena pertalian kerabat semenda:
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
b. Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c. Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;
d. Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
(3) Karena pertalian sesusuan:
a. Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah.
c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan dan kemanakan sesusuan ke bawah;
d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita kerena keadaan tertentu:a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam;
Pasal 41
(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya;a. Saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;
b. Wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj’I, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj’i.Pasal 43
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:a. Dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;
b. Dengan seorang wanita bekas istreinya yang dili’an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
0 Response to "Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum Perkawinan oleh praktisi Pengacara Perceraian Perdata Pidana di Balikpapan Samarinda"
Posting Komentar