Nomer Kontak Hp Tsel Pengacara Balikpapan Samarinda

Nomer Telepon Pengacara Balikpapan Samarinda. Untuk Kirim Pesan Whatsapp tinggal klik gambar ini


Follow Facebook Pengacara Balikpapan Samarinda

Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum Perkawinan oleh praktisi Pengacara Perceraian Perdata Pidana di Balikpapan Samarinda

artikel praktisi Pengacara Perceraian Perdata Pidana di Balikpapan Samarinda

Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum Perkawinan bagian 1

Dari Kantor Pengacara di Balikpapan Yuni, A.Md., S.H.


Apa itu Kompilasi telah kita bahas terdahulu klik disini detailnya.


Buku II tentang Hukum kewarisan telah Kita bahas di link ini 



Sekarang kita akan membahas  tentang

BUKU I
HKUKUM PERKAWINAN

BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1


Yang dimaksud dengan:
a. Peminangan ialah kegiatan-kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seseorang pria dengan seorang wanita.
b. Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah;
c. Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi;
d. Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam;
e. Taklil-talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang;
f. Harta Kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalamikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama,tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;
g. Pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri;
h. Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
i. Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya;
j. Mutah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.

BAB II
DASAR-DASAR PERKAWINAN


Pasal 2

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.

Pasal 3

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

Pasal 4

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 5


  1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
  2. Pencatatan perkawinan tersebut apabila ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954


Pasal 6

(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan               dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan  Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai                  kekuatan hukum.
hukum perkawinan dan keluarga

Pasal 7

(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat                  Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat                        nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang                        berkenan dengan :
        a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
        b) Hilangnya Akta Nikah;
        c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
        d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974                    dan;
        e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan                          menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka,               wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

Pasal 8

Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak;

Pasal 9

(1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat              dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama.
(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan          permohonan ke Pengadilan Agama.

Pasal 10

Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.


BAB III
PEMINANGAN

Pasal 11

Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perentara yang dapat dipercaya.

Pasal 12

(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda            yang telah habis masa iddahnya.
(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah, haram dan dilarang                 untuk dipinang.
(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria            tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
(4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan            atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang                dipinang.

Pasal 13

(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan                  peminangan.
(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai                dengan tuntutan adat dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling                  menghargai.

BAB IV
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Rukun

Pasal 14
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada;
a. Calon suami;
b. Calon isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.

Bagian Kedua 
Calon Mempelai

Pasal 15

(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon                  mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1                 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 Tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
(2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana              diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.

Pasal 16

(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan              tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan                yang tegas.

Pasal 17

(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu                      persetujuan calon mempelai dihadapan dua saksi nikah.
(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan            itu  tidak dapat dilangsungkan.
(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan          dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.

Pasal 18

Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI.

Bagian Ketiga
Wali Nikah

Pasal 19

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.

Pasal 20

(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam             yakni muslim, aqil dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari:
         a. Wali nasab;
         b. Wali hakim;

Pasal 21

(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu                          didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengna calon              mempelai wanita.
        Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah                                  dan seterusnya.
        Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan                                      keturunan laki-laki mereka.
       Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudar seayah dan k                          keturunan laki-laki mereka.
       Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan                              laki-laki mereka
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Pasal 22

Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.


Pasal 23

(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannnya atau tidak diketahui  tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Bagian Keempat
Saksi Nikah

Pasal 24

(1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
(2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.

Pasal 25

Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.


Pasal 26

Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.

Bagian Kelima
Akad Nikah

Pasal 27

Ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.

Pasal 28

Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain.

Pasal 29

(1) Yang berhak mengucapkan Kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.
(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan Kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan          calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas                akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad          nikah tidak boleh dilangsungkan.

BAB V
MAHAR

Pasal 30

Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.

Pasal 31

Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

Pasal 32

Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya.

Pasal 33

(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai
(2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk            seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon            mempelai pria.

Pasal 34

(1) Kewajiban menyerahkan mahar-mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan                       batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak                         mengurangi sahnya perkawinan

Pasal 35

(1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah                ditentukan dalam akad nikah.
(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka          suami wajib membayar mahar mitsil.

Pasal 36

Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.

Pasal 37

Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan penyelesaian diajukan ke Pengadilan Agama.

Pasal 38

(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap                bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas.
(2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat,suami harus menggantinya dengan            mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih                belum dibayar.

BAB VI
LARANGAN KAWIN

Pasal 39

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan:
(1) Karena pertalian nasab:
        a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;
        b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
        c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
(2) Karena pertalian kerabat semenda:
        a. Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
        b. Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
        c. Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan                      perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;
        d. Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
(3) Karena pertalian sesusuan:
        a. Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
        b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah.
        c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan dan kemanakan sesusuan ke bawah;
        d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
        e. Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.

Pasal 40

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita kerena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam;

Pasal 41

(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan                 pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya;
         a. Saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;
         b. Wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj’I, tetapi          masih dalam masa iddah.

Pasal 42

Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj’i.

Pasal 43

(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:
        a. Dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;
        b. Dengan seorang wanita bekas istreinya yang dili’an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria              lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya.

Pasal 44

Seorang wanita Islam dilarang melangsunkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum Perkawinan oleh praktisi Pengacara Perceraian Perdata Pidana di Balikpapan Samarinda"

Posting Komentar

Silahkan Hubungi Pengacara Balikpapan Samarinda dengan klik gambar ini

Nomer Telepon Pengacara Balikpapan Samarinda. Untuk Kirim Pesan Whatsapp tinggal klik gambar ini

7 Tips Cara Menjual Mobil Pribadi Dengan Harga Pantas by Birojasa pengurusan stnk bpkb terdekat di balikpapan samarinda penajam

Pelayanan Biro Jasa Pengurusan STNK dan BPKB Terdekat hp/wa 0812-3456-243 di Balikpapan, Samarinda, Penajam, Tenggarong, Kutai Timur, Berau ...