Nomer Kontak Hp Tsel Pengacara Balikpapan Samarinda

Nomer Telepon Pengacara Balikpapan Samarinda. Untuk Kirim Pesan Whatsapp tinggal klik gambar ini


Follow Facebook Pengacara Balikpapan Samarinda

Kompilasi Hukum Islam Buku 1-Hukum Perkawinan. by Pengacara Perceraian Perdata Pidana di Balikpapan Samarinda

Kompilasi Hukum Islam Buku 1-Hukum Perkawinan.  

sambungan penulisan Pengacara Perceraian Perdata Pidana di Balikpapan Samarinda bag-2
Bab VII-Perjanjian Perkawinan (Pasal 45-Pasal 52)
Bab VIII-Kawin Hamil (Pasal 53-Pasal 54)
Bab IX-Beristeri lebih satu orang (Pasal 55-Pasal 59)
Bab X-Pencegahan Perkawinan (Pasal 60-Pasal 69)
Bab XI-Batalnya Perkawinan (Pasal 70-Pasal 76)
Bab XII-Hak dan Kewajiban Suami Isteri (Pasal 77-Pasal 84)

Sambungan dari kompilasi hukum Islam by Pengacara Perceraian Perdata Pidana di Balikpapan Samarinda di artikel sebelumnya klik disini selengkapnya


Pasal 44

    Seorang wanita isalam dilarang melangsunkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

(1)    Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.
(2)    Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

BAB VII

PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 45

Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:
1.    Taklik talak dan
2.    Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Pasal 46

(3)    Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
(4)    Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.
(5)    Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

Pasal 47

(1)    Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
(2)    Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
(3)    Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.

Pasal 48


(1)    Apabila dibut perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
(2)    Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi permisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.

Pasal 49

(1)    Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
(2)    Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selam perkawinan atau sebaliknya.


Pasal 50

(1)    Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah.
(2)    Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pengawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan.
(3)    Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam suatu surat kabar setempat.
(4)    Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
(5)    Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.

Pasal 51

Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberikan hak kepada isteri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama

Pasal 52

Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu.

BAB VIII

KAWIN HAMIL

Pasal 53

(1)    Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
(2)    Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3)    Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Pasal 54

(1)    Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga boleh bertindak sebagai wali nikah.
(2)    Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram perkawinannya tidak sah.

BAB IX

BERISTERI LEBIH SATU ORANG


Pasal 55

(1)    Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
(2)    Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(3)    Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.

Pasal 56

(1)    Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2)    Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
(3)    Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 57

    Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a.    Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b.    Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.    Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 58

(1)    Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu:
a.    Adanya persetujuan isteri;
b.    Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2)    Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3)    Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.

Pasal 59

    Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

BAB X

PENCEGAHAN PERKAWINAN


Pasal 60

(1)    Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.
(2)    Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan Perundang-undangan.

Pasal 61

    Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.

Pasal 62

(1)    Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan lurus kebawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan.
(2)    Ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukaan oleh wali nikah yang lain.

Pasal 63

    Pencegahan perkwainan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan.

Pasal 64

    Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi.

Pasal 65

(1)    Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah Hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.
(2)    Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Pasal 66

    Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

Pasal 67

    Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau dengan putusan Pengadilan Agama.

Pasal 68

    Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10 atau pasal 12 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

Pasal 69

(1)    Apabila pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2)    Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut di sertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3)    Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan Agama dalam wilayah mana Pegawai Pencatat Nikah yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.
(4)    Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.

BAB XI

BATALNYA PERKAWINAN
 

Pasal 70


Perkawinan batal apabila :
a.    Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj’i;
b.    Seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili’annya;
c.    Seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dan pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;
d.    Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
1.    Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
2.    Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3.    Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
4.    Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
e.    Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya.

Pasal 71

Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a.    Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b.    Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud.
c.    Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain;
d.    Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
e.    Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f.    Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan;

Pasal 72

(1)    Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2)    Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3)    Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri , dan tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 73

Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah:
a.    Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri;
b.    Suami atau isteri;
c.    Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang.
d.    Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.

Pasal 74

(1)    Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan
(2)    Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Pasal 75

Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
a.    Perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad;
b.    Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c.    Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber’itikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 76

    Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.

BAB XII

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
Bagian Kesatu

Umum


Pasal 77

(1)    Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat.
(2)    Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
(3)    Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
(4)    Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.
(5)    Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.

Pasal 78

(1)    Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2)    Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentukan oleh suami isteri bersama.

Bagian kedua

Kedudukan Suami Isteri
 

Pasal 79

(1)    Suami adalah kepala keluarga dan isteri Ibu rumah tangga
(2)    Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(3)    Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Bagian Ketiga

Kewajiban Suami

Pasal 80

(1)    Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.
(2)    Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(3)    Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat  bagi agama, nusa dan bangsa.
(4)    Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
a.    Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b.    Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c.    Biaya pendidikan bagi anak;
(5)    Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
(6)    Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
(7)    Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz

Bagian Keempat

Tempat Kediaman

Pasal 81

(1)    Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam masa iddah.
(2)    Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
(3)    Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
(4)    Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinddalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.

Bagian Kelima

Kewajiban Suami yang Beristeri lebih dan Seorang

Pasal 82

(1)    Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
(2)    Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.

Bagian Keenam

Kewajiban Isteri

Pasal 83

(1)    Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam.
(2)    Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.

Pasal 84

(1)    Isteri Dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.
(2)    Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
(3)    Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali sesudah isteri nusyuz
(4)    Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kompilasi Hukum Islam Buku 1-Hukum Perkawinan. by Pengacara Perceraian Perdata Pidana di Balikpapan Samarinda"

Posting Komentar

Silahkan Hubungi Pengacara Balikpapan Samarinda dengan klik gambar ini

Nomer Telepon Pengacara Balikpapan Samarinda. Untuk Kirim Pesan Whatsapp tinggal klik gambar ini

7 Tips Cara Menjual Mobil Pribadi Dengan Harga Pantas by Birojasa pengurusan stnk bpkb terdekat di balikpapan samarinda penajam

Pelayanan Biro Jasa Pengurusan STNK dan BPKB Terdekat hp/wa 0812-3456-243 di Balikpapan, Samarinda, Penajam, Tenggarong, Kutai Timur, Berau ...